
LAMPUNG_INFO — Kementerian Hukum dan Kementerian HAM Kantor Wilayah Lampung menggelar Rapat Diskusi terkait Permohonan Fasilitas Umum di wilayah Register 44 Way Kanan. Diskusi tersebut dilaksanakan di Ruang Rapat Pepadun Kanwil Kemenkum Lampung. Kegiatan yang dimulai pukul 09.00 WIB tersebut dihadiri oleh Kepala Kantor Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) Lampung, Basnamara; Kepala Bidang PDK, I Made Agus Dwiana; narasumber Doni Arinanto Raharjo; para JFT Kementerian HAM; serta Analis Hukum Kemenkum Lampung. Forum ini digelar untuk membahas secara komprehensif pengaduan masyarakat terkait kebutuhan fasilitas dasar, terutama listrik, yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
Pada pembukaan, I Made Agus Dwiana menjelaskan bahwa rapat ini bertujuan menggali perspektif tambahan terhadap pengaduan Paguyuban Register 44 Way Kanan. Pengaduan tersebut sebelumnya telah ditindaklanjuti Ombudsman dengan mengeluarkan rekomendasi kepada KLHK, namun implementasinya terhambat karena belum tersedianya peta koordinat wilayah. Selain itu, turut disampaikan bahwa keberadaan areal indikatif menjadi salah satu aspek penting yang memperumit penyelesaian masalah di kawasan Register 44.
Paparan kemudian dilanjutkan oleh narasumber Doni Arinanto Raharjo yang membawakan materi berjudul Permasalahan Hukum Register 44 melalui FIRAC. Ia menjelaskan bahwa penyelesaian persoalan agraria tidak hanya bersandar pada regulasi, tetapi juga memerlukan analisis terhadap dinamika hukum di lapangan. Melalui metode FIRAC (Fact, Issue, Regulation, Analysis, Conclusion), ia memaparkan fakta sejarah Register 44, mulai dari tanah adat, kepemilikan kolonial, hingga proses penyerahan kepada Desa Negara Batin. Doni juga menyoroti klaim masyarakat adat yang mengaku memiliki dokumen atas tanah seluas 17.800 hektare.
Pembahasan regulasi menelusuri sejumlah ketentuan penting, termasuk UU 41/1999 tentang Kehutanan, UUPA, Putusan MK 35/2012, PP 43/2021, serta prinsip Hukum Adat Lampung. Doni menjelaskan bahwa meskipun Register 44 tidak melanggar Pasal 27 UU Kehutanan, Pasal 50 ayat (3) mengatur larangan pendudukan kawasan hutan secara tidak sah, sehingga kedatangan masyarakat baru dapat dianggap melanggar hukum. Selain itu, Pasal 67 UU Kehutanan menegaskan pengakuan tanah adat hanya berlaku apabila ditetapkan melalui peraturan daerah, sehingga status kawasan tersebut belum dapat dipastikan sebagai tanah adat. Di sisi lain, izin konsesi PT Inhutani V dinilai sah secara administratif namun memiliki cacat substansi dalam penerapannya.
Sesi diskusi berlangsung intens dengan berbagai masukan dari peserta. Perwakilan Kementerian Hukum, Albar, menyoroti perlunya kejelasan locus dan identitas masyarakat yang mengajukan pengaduan, termasuk status hukum tanah ulayat. Diskusi juga menekankan pentingnya penetapan resmi masyarakat adat serta perlunya koordinasi lintas instansi mengingat kompleksitas permasalahan Register 44. Perwakilan dari Kementerian Hak Asasi Manusia, Afril, menegaskan bahwa hambatan penyelesaian kasus ini terjadi karena sifatnya yang lintas sektor dan melibatkan banyak pemangku kepentingan.
Pada akhir kegiatan, Doni Arinanto Raharjo merekomendasikan dilaksanakannya mediasi besar yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga untuk memastikan penyelesaian yang holistik. Forum menyimpulkan bahwa penyelesaian permasalahan Register 44 tidak dapat dilakukan pada tingkat daerah karena tingginya risiko dan kompleksitas hukum serta sosialnya. Oleh karena itu, Kementerian Hukum dan Kementerian HAM akan mengambil peran sebagai fasilitator dan menjembatani audiensi besar antara masyarakat, kementerian teknis, dan pemangku kepentingan terkait.
Kegiatan ini diharapkan menjadi langkah awal bagi penyelesaian menyeluruh atas permasalahan yang telah berlangsung lebih dari dua dekade, sekaligus memperkuat sinergi antarinstansi dalam menangani isu-isu agraria dan masyarakat adat di Indonesia.
(Humas Kemenkum Lampung/asd)




